Sebelum melangkah pada nafs amarah, secara
syar’i orang yang berada dalam kemusyrikan (jiwa musyawilah) harus
mengi’tikadkan melalui kalimah syahadat, kalimah ini diambil dari Rukun
Islam yang pertama yaitu dua kalimat persaksian terhadap Allah sebagai
Tuhannya dan Muhammad sebagai RasulNya.
Pada tingkatan paripurna, persaksian ini
menjadi sebuah penglihatan ruhaniah yang memiliki muatan keimanan pada
tingkat haq ul yaqin, yaitu sebagai tingkatan penglihatan (makrifat)
yang tertinggi dalam puncak tangga pengetahuan ruhaniah, sebelum pada
akhirnya masuk pada jenjang sebagai Al Insan Al Kamil (jiwa
kamilah), dan secara umum peralihan dari jiwa kemusyrikan masuk pada
jiwa amarah (jiwa muslim), belum mencapai pada tingkat itu, kalimat yang
di’itikadkan baru pada tingkat peralihan atas pengetahuan bahwa ada
sebuah kebutuhan tempat bergantung yang dapat memberikan jawaban atas
segala bentuk kegelisahan yang dialami dalam hidupnya.
Untuk itu kebanyakan kaum non muslim masuk
menjadi muslim karena melihat adanya resapan yang membawa rasa jiwa
menjadi tenang, sementara seorang yang muslim kemudian dia tidak merasa
tenang karena masuk dalam formalitas kemusliman tetapi substansi jiwanya
berada dalam musyawilah (jiwa yang musyrik), dengan demikian Tingkat
pengetahuan ini belum masuk pada keimanan sebagai seorang mukmin,
melainkan baru pada tataran sebagai muslim dengan jiwa amarah yang
secara umum diidentikan sebagai jiwa yang penuh emosional, dalam tulisan
ini terminologi amarah merujuk pada tafsir Al-Misbah karya Prof. Dr.
Quraisy Shihab, bahwa nafsu amarah itu adalah jiwa yang cenderung pada
kemunkaran, atau jiwa yang cenderung untuk kembali pada kemusyrikan.
Kembali lagi pada pembahasan yaitu bahwa
persaksian ini tidak hanya dalam bentuk kalimat (redaksi) persaksian
terhadap Allah sebagai Tuhannya dan Muhammad sebagai rasulNya saja,
melainkan menjadi sebuah persaksian yang holitstik (kaffah) diawali dari
alam yang dapat disaksikan oleh penglihatan kasat mata sampai pada
tingkat penyaksian qalbu yaitu i’tikad meyakini Tiada Tuhan Selain Allah
dan Muhammad adalah RasulNya dan juga penglihatan ruh pada Nur Al Haq
dan Nur Muhammad.
Al ‘ alam Asy syahadah
merupakan ruang persaksian manusia secara integrated dengan menyatukan
beberapa asfek menyangkut segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan,
mulai dari yang dapat disaksikan dengan kasat mata maupun yang tidak
kasat mata, daya tembus ini hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang
telah memiliki paripurna yaitu seseorang yang telah memiliki mahkota Al Insan Al Kamil,
sebagai citra keturunan Adam As yang siap mengemban tugas – tugas
kekhalifahan dimuka bumi ini, penglihatan seseorang hamba yang
paripurna, tidak hanya melihat atau menyaksikan dengan mengucapkan dua
kalimat penyaksian (syahadah) yaitu Aku bersaksi Tiada Tuhan Selain
Allah dan aku bersaksi bahwasannya Muhammad adalah Utusan Allah, tetapi
memang kalimat tersebut sudah merupakan sebuah bentuk perwujudan
persaksian psikis (manifestasi kejiwaan) yang senantiasa menjadi sebuah
bentuk inspirasi dalam segala tindak laku kemanusiaan dimuka bumi dengan
predikat khalifah.
Penguatan perasaan jiwa dengan menjadi dua
kalimat tersebut sebagai sumber inspirasi dalam membentuk setiap ucapan,
sikap dan prilaku, tidak dapat serta merta kita dapatkan, tanpa melalui
sebuah proses yang dapat mengarahkan diri kita, sehingga dua kalimat
tersebut betul – betul dapat dirasakan dan menjadi kekuatan tersendiri
sebagai kekuatan yang tersimpan didalam pengolahan diri.
Salah satu yang menjadi keutamaanya adalah
sholat, namun demikian sholat yang hanya dilakukan sebatas target
menggugurkan kewajiban, tentu tidak akan memberikan hasil yang cukup
optimal, untuk itu penguatan dengan sholat perlu diiringi dengan
penyaksian yang kaffah (holistic), tingkat persaksian seseorang pada
Allah dan RasulNya, meliputi pendekatan dengan mengungkapkan rahasia
penciptaan jagat raya sebagai persaksian awal (Qs Al-imran 190),
kemudian bumi dan sekitarnya dan selanjutnya yang terakhir adalah pada
diri sendiri (Qs Adz-Dzaariyaat 20-21).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar