Selasa, 24 Agustus 2010

KASIDAH BURDAH

A. PENDAHULUAN

A. Sejarah kasidah Burdah
    Al-Burdah menurut etimologi banyak mengandung arti antara lain:
1. Baju (jubah) kebesaran khalifah yang menjadi salah satu atribut khalifah. Dengan atribut Burdah ini, seorang khalifah bisa dibedakan dengan pejabat negara lainnya, teman-teman dan rakyatnya.
2. Nama dari kasidah yang dipersembahkan kepada Rasulullah SAW yang digubah oleh Ka’ab bin Zuhair.
    Pada mulanya, burdah (dalam pengertian jubah) ini adalah milik Nabi Muhammad SAW yang diberikan kepada Ka’ab bin Zuhair bin Abi Salma, seorang penyair terkenal Muhadramin (penyair dua zaman: Jahiliyah dan Islam). Burdah yang telah menjadi milik keluarga Ka’ab tersebut akhirnya dibeli oleh Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan seharga duapuluh ribu dirham, dan kemudian dibeli lagi. oleh Khalifah Abu Ja’far al-Manshur dari dinasti Abbasiyah dengan harga empat puluh ribu dirham. Oleh khalifah, burdah itu hanya dipakai pada setiap shalat dan diteruskan secara turun-temurun.
    Riwayat pemberian burdah oleh Rasulullah SAW kepada Ka’ab bin Zuhair bermula dari Ka’ab yang menggubah syair yang senantiasa menjelek-jelekkan Nabi dan para sahabat. Karena merasa terancam jiwanya, ia lari bersembunyi untuk menghindari luapan amarah para sahabat. Ketika terjadi penaklukan Kota Makkah, saudara Ka’ab yang bernam Bujair bin Zuhair mengirim surat kepadanya, yang isinya antara lain anjuran agar Ka’ab pulang dan menghadap Rasulullah, karena Rasulullah tidak akan membunuh orang yang kembali (bertobat). Setelah memahami isi surat itu, ia berniat pulang kembali ke rumahnya dan bertobat.
Kemudian Ka’ab berangkat menuju Madinah. Melalui ‘tangan’ Abu Bakar Siddiq, di sana ia menyerahkan diri kepada Rasulullah SAW. Ka’ab memperoleh sambutan penghormatan dari Rasulullah. Begitu besarnya rasa hormat yang diberikan kepada Ka’ab, sampai-sampai Rasulullah melepaskan burdahnya dan memberikannya kepada Ka’ab. Ka’ab kemudian menggubah kasidah yang terkenal dengan sebutan Banat Su’ad (Putri-putri Su’ad), terdiri atas 59 bait (puisi). Kasidah ini disebut pula dengan Kasidah Burdah karena melihat peristiwa rasa penghormatan Rasulullah terhadap tobat dan gubahan Kasidah oleh Ka’ab bin Zuhair sebagai pembuktiannya tobatnya itu. la ditulis dengan indahnya oleh kaligrafer Hasyim Muhammad al-Baghdadi di dalam kitab kaligrafi-nya, Qawaid al-Khat al-Arabi.
    Setelah Ka’ab bin Zuhair bin Abi Salma menggubah kasidah Burdah tersebut sebagai tanda tobatnya selang beberapa tahun kemudian kasidah Burdah digubah kembali dengan isi dan gaya bahasa yang berbeda. Penggubah kasidah Burdah yang ke dua ini adalah Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Zaid al-Bhusairi, yang kemudian lebih sering disebut dengan al-Bhusairi saja. Dalam penciptaan Burdah ini al-Bhusairi berbeda isi dengan Burdah Ka’ab bin Zuhair yang tentunya berbeda rasa dan tujuan. Apabila Ka’ab bin Zuhair dalam penciptaan Burdahnya itu didasarkan karena rasa takut dan bertujuan untuk membuktikan tobatnya kepada Rasulullah SAW, sedangkan al-Bhusairi dalam penciptaan Burdahnya karena rasa cintanya terhadap Rasulullah SAW.
    Pada perkembangan selanjutnya, kasidah Burdah al-Bhusairi lebih dikenal oleh orang-orang dibandingkan dengan kasidah Burdah Ka’ab bin Zuhair. Alasan mengapa kasidah Burdah al-Bhusairi lebih terkenal dibandingkan dengan kasidah Burdah Ka’ab bin Zuhair mungkin secara sederhananya dapat dibandingkan pada segi penggunaan bahasa. Kasidah Burdah karangan al-Bhusairi lebih sederhana dibandingkan kasidah Burdah karangan Ka’ab bin Zuhair, sehingga orang-orang lebih mudah untuk memahami kasidah Burdah karangan al-Bhusairi. Disamping itu rasa (atifah) yang ada pada kasidah Burdah al-Bhusairi itu lebih kuat, indah, dan mudah untuk dirasakan oleh para pembacanya sebab kasidah Burdah al-Bhusairi itu pada dasarnya berisi kecintaan dan kerinduan yang mendalam terhadap Rasulullah SAW. Sedangkan kasidah Burdah Ka’ab bin Zuhair itu berisi tentang ketakutan. Di samping karena ada rasa cinta dan kerinduan al-Bhusairi terhadap Rasulullah dalam penciptaan kasidah Burdahnya, al-Bhusairi juga megharapkan syafa’at dari Rasulullah. Dalam penciptaan kasidah Burdanya itu al-Bhusairi tengah menderita sakit lumpuh, sehingga ia tidak dapat bangun dari tempat tidurnya. Di saat pembuatan kasidah Burdahnya itu dalam mimpi beliau berjumpa dengan Rasulullah SAW. Di dalam mimpinya itu Rasulullah mengusap wajah al-Bhusairi, kemudian Rasulullah melepaskan jubahnya dan mengenakannya ke tubuh al-Bhusairi, dan saat terbangun dari tidurnya beliau mendapati dirinya sembuh dari penyakit lumpuh yang dideritanya. Mimpi itu juga sumber inspirasi beliau untuk memberi kasidah yang tengah dikarangnya dengan nama “Burdah”, merujuk pada pemberian jubah oleh Rasulullah kepadanya di dalam mimpi.

B. Biografi Pengarang
    Pengarang Kasidah Burdah ialah Al-Bushairi (610-695H/ 1213-1296 M). Nama lengkapnya, Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Zaid al-Bhusairi. Dia keturunan Berber yang lahir di Dallas, Maroko dan dibesarkan di Bhusir, Mesir, dia adalah seorang murid sufi besar, Imam as-Syadzili dan penerusnya yang bernama Abdul Abbas al-Mursi- anggota Tarekat Syadzilliyah. Di bidang ilmu fiqih, Al Bhusiri menganut madzhab Syafi’i, yang merupakan madzhab fiqih mayoritas di Mesir.
Di masa kecilnya, ia dididik oleh ayahnya sendiri dalam mempelajari Al Quraan di samping berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Kemudian ia belajar kepada ulama-ulama di zamannya. Untuk memperdalam ilmu agama dan kesusteraan Arab ia pindah ke Kairo. Di sana ia menjadi seorang sastrawan dan penyair yang ulung. Kemahirannya di bidang sastra syair ini melebihi para penyair pada zamannya. Karya-karya kaligrafinya juga terkenal indah.
    Sajak-sajak pujian untuk Nabi dalam kesusteraan Arab dimasukkan ke dalam genre al-Mada’ih an-nabawiyah, sedangkan dalam kesusteraan-kesusteraan Persia dan Urdu dikenal sebagai kesusteraan Na’tiyah (kata jamak dari na’t yang berarti pujian). Sastrawan Mesir terkenal, Zaki Mubarok, telah menulis buku dengan uraian yang panjang lebar mengenai al-Mada’ih an-nabawiyah. Menurutnya, syair semacam itu dikembangkan oleh para sufi sebagai cara untuk mengungkapkan perasaan regilius yang Islami.
Kasidah Burdah terdiri atas 160 bait (sajak), ditulis dengan gaya bahasa (uslub) yang menarik, lembut dan elegan, berisi panduan ringkas mengenai kehidupan Nabi Muhammad SAW, cinta kasih, pengendalian hawa nafsu, do’a, pujian, terhadap Al Quran, Isra Mi’raj, Jihad dan Tawassul.
    Al Bhusiri hidup pada suatu masa transisi perpindahan kekuasaan dinasti Ayyubiyah ke tangan dinasti Mamalik Bahriyah. Pergolakan politik terus berlangsung, akhlak masyarakat melorot, para pejabat pemerintahan mengejar kedudukan dan kemewahan. Maka munculnya kasidah Burdah itu merupakan reaksi terhadap situsai politik, sosial, kultural pada masa itu, agar mereka senantiasa mencontoh kehidupan Nabi yang berfungsi sebagai usawatun hasanah (suri tauladan yang baik), mengendalikan hawa nafsu, kembali pada ajaran agama yang murni, Al Quran dan Hadist. Di dalam pembahasan kasidah Burdah karya al-Bhusairi ini, penulis hanya akan membahas bagian awal dari Kasidah Burdah al-Bhusairi tersebut. Penulis kira awal bagian Kasidah Burdah yang penulis bahas sudah cukup mewakili inti sari dari Kasidah Burdah al-Bhusairi yang berisi rasa cinta mendalam terhadap Rasulullah SAW.

B. PEMBAHASAN

A. Burdah Lil Bhusairi dan Terjemahan

مولاي صل وسلم دائما أبدا
على حبيبيك خير الخلق ك كلهم
أبان مولده عن طيب عنصره
يا طيب مبتد منه ومختتم
يوم تفرس فيه الفرس أنهم
قد أنذروا بجلول البؤس والنقام
وبات ايوان كسرى وهو من صدع
كشمل أصحاب كسرى غير ملتئم
والنار خامدة الأنفاس من أسف
عليه والنهر ساهي العين من سدم
وساء ساوة أن غاضت بحيرتها
ورد ورادها بالغيط حين ظمي
كان بالنار ما بالماء من بلل
حزنا وبالماء ماا بالنار من ضرم
والجن تهتف والأنوار ساطعة
والحق يظهر من معنى ومن كلم
عموا وصموا فاعلان البشائر لم
تسمع وبارقة الإنذار لم تشم
من بعد ما أخبار الأقوام كاهنهم
بان دنهم المعوج لم يقم
وبعد ما عاينوا في أفق من شهب
منقضة وفق ما في الأرض من صنم

حتى غدا عن طريق الوحي من هزم
من الشياطين يقفو إثر من هزم
كأنهم هربا أبطال أبرهة
أوعسكر بالحصى من راحتيةرمي
نبذا به بعد تسيح يبطينهما
نبذ المسبح من أحشاء ملتق


Terjemahan
Ya Allah ya Tuhanku, limpahkan rahmat dan salam abadi selalu atas Kekasih-Mu
Sebaik-baik mankhluk seluruh.
Kelahiran sang Nabi menampakkan kesucian diri.
Alangkah indah permulaannya juga indah penghabisannya.
Hari kelahiran baginda saat ada firasat Bangsa Persia.
Bahwa ada peringatan kepada mereka datangnya bencana dan siksa.
Saat menjelang malam tiba istana Kisra hancur terbelah.
Sebagaimana kumpulan sahabat Kisra tiada menyatu terpecah-belah.
Api sesembahan padam karena duka yang mencekam.
Sungai Eufrat tak mengalir, muram karena susah yang amat dalam.
Penduduk negeri sawah resah duka saat danaunya kering kerontang.
Pengambil air kembali dengan tangan hampa kecewa ketika air terjerat rasa dahaga.
Seakan-akan pada api nan membara terdapat cairan air karena duka.
Dan pada air nan sejuk segar terdapat jilatan api yang membakar.
Para Jin menjerit suara cahaya membumbung ke angkasa.
Kebenaran tampak nyata dari makna maupun kata.
Mereka buta dan tuli tak mendengar hingga kabar gembira tiada didengar.
Begitu juga kilatan peringatan sama sekali tak terhiraukan.
Para dukun mereka telah kabarkan berita.
Bahwa agama mereka bengkok tak bertahan lama.
Setelah mereka menyaksikan bintang-bintang di ufuk berjatuhan.
Bersamaan di bumi ada kejadian berhala-berhala jatuh bergelimpangan.
Hingga lenyap setan berlari dari pintu langit jalan wahyu Ilahi.
Mereka lari mengikuti setan nan berlari tak henti.
Seakan akan setan yang berlari duka laksana Raja Abrahah.
Atau laksana kumpulan tentara terempari kerikil tangan Rasulullah.
Batu yang Nabi lemparkan setelah bertasbih dalam genggaman.
Bak terlemparnya nabi Yunus dari telanan ikan paus


B. Kandungan Teks

Atifah (Rasa)
    Imam Bhusairi pada awal Kasidah di atas terlihat sederhana dalam mengungkapkan perasaannya (khususnya tentang kelahiran Nabi Muhammad SAW). Melalui tatanan syi’ir yang sederhana itu, ia “membungkus” Atifahnya (emosi) itu, yang mana emosinya itu berisi tentang kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW serta emosi bagaiamana ia mesakan bangsa Persia tengah mengalami carut-marut sebab Api sesembahan mereka padam pada saat kelahiran Nabi. Walaupun ia membalut atifahnya itu secara sederhana (hal ini bisa dibandingkan pada Kasidah Burdah karya Ka’ab bin Zuhair yang mayoritas bahasanya rumit) tetapi kesederhanaan itu tidak mengurangi Sumuw al-Atifah (tingkat rasa) Kasidah Burdah milik Imam Bhusairi tersebut. Para kritikus sastra sepakat mengatakan Sumuw al-Atifah adalah yang membedakan tinggi rendahnya rasa sastra bagi setiap sastrawan. Tingkat rasa atau Sumuw al-Atifah pada awal Kasidah Burdah milik Imam Bhusairi ini tidak berkurang atau bahkan hilang karena bahasanya yang sederhana itu. Dalam karya sastra itu terdapat karya sastra yang kehilangan “ruhnya”, itu disebabkan karena adanya ketidak seimbangan struktur bahasa yang dipakai dengan Atifah yang tersirat. Biasanya karya sastra tersebut adalah karya sastra yang pemakaian bahasanya terlalu menggebu-gebu namun kurang penuangan Atifah oleh pengarangnya. Orang yang menyukai sastra tersebut bisa dikatakan rendah selara sastranya, sebab hanya terpaku pada struktur luar (gaya bahasa yang menggebu-gebu). Kembali kepada Kasidah Burdah milik al-Bhusairi, Kasidah al-Bhusairi ini bukan karya sastra yang rendah Sumuw al-Atifahnya sebab dengan kesederhanaan bahasa yang otomatis kesederhanaan penyampaian atifahnya itu sederhana juga, kesederhanaan Kasidah Burdah al-Bhusairi malah menguatkan atifahnya. Hal ini bisa disamakan dengan kejadian orang yang tengah merasakan kesedihan mendalam maka ia akan mengungkapkan kesedihannya itu dalam bahasa yang pendek (sederhana) kepada orang lain, sebab semakin panjang ia mengungkapkan kesedihannya itu maka semakin berat lah beban yang rasakan (hal ini untuk keterangan tambahan saja untuk menyatakan atifah Kasidah Burdah al-Bhusairi dengan persamaan kejadian biasa). Bahkan karena kesederhaan bahasa dan besar atifah yang al-Bhusairi simpan pada Kasidah Burdahnya itu bisa dikatakan seperti ini “Kasidah yang sederhana namun cukup mengena”. Apabila kita perhatikan secara seksama penggalan Kasidah Burdah di atas kita akan merasakan al-Bhusairi membawa emosinya sampai seakan-akan beliau melihat menyaksikan langsung peristiwa kelahiran Nabi dan peristiwa-peristiwa yang ada pada Bangsa Persia, para kalangan Jin dan Syaitan pada saat kelahiran Nabi. (peristiwa carut-marutnya bangsa Persia sebab api sesembahan mereka padam seketika serta Jin dan Syetan yang dikejar panah api apabila mereka mencoba mendekati pintu langit yang telah tertutup bagi mereka sejak kelahiran Nabi Muhammad SAW).

Khayal (Imajinasi)
    Imajinasi yang digunakan al-Bhusairi pada awal Kasidah Burdahnya di atas itu yang penulis lihat ada dua macam jenis Khayal. Pertama adalah Khayal Ibtikari, daya khayal ini adalah daya khayal yang tecipta karena adanya gambaran baru dalam sebuah karya sastra yang disusun dari beberapa unsur sebenarnya, namun apabila disusun sewenang-wenang ia dinamakan angan-angan. Ke dua adalah Khayal Ta’lifi, daya khayal ini merupakan perpaduan antara pikiran dan gambaran yang serasi dengan bermuara pada satu perasaan yang benar. Namun kalau gambaran ini tidak dipahami dengan benar, maka ia akan menjadi tamtsil sebagaimana tasybih dalam istilah ilmu Al-bayan.
Di sini penulis akan mengambil dua bait syair untuk dijadikan contoh dua jenis khayal yang telah penulis sebutkan di atas, masing-masing sya’ir akan penulis berikan satu contoh.
a. Khayal Ibtikari
Khayal Ibtikari ini bisa kita lihat pada bait ini:

كان بالنار ما بالماء من بلل
حزنا وبالماء ماا بالنار من ضرم
Artinya: Seakan-akan pada api nan membara terdapat cairan air karena duka
Dan pada air nan sejuk segar terdapat jilatan api yang membakar
Keterangan:
    Seperti yang telah disebutkan di atas Khayal Ibtikari timbul karena adanya gambaran baru yang disusun dari beberapa unsur sebelumnya. Pada bait sya’ir di atas gambaran baru tersebut lahir, yaitu gambaran kebalikan dari seharusnya dalam kenyataan (unsur baru). Dalam kenyataan api itu tidak terdapat air, dan pada air tidak terdapat api (unsur sebelumnya). Namun dalam gambaran baru pada bait syai’ir di atas hal air terdapat pada api dan hal api terdapat pada air. Khayal tersebut dimaksudkan untuk menggambarakan betapa kacaunya penduduk Persia sebab merasa kehilangan hidup dengan padamnya api sesembahan dan kacaunya istana Kisra pada saat kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sampai-sampai kondisi kejiwaan mereka mengalami hal yang tak wajar karena ketakutan dan keputusasaan.
b. Khayal Ta’lifi
Khayal Ta’lifi ini bisa kita lihat pada bait ini:

وبعد ما عاينوا في أفق من شهب
منقضة وفق ما في الأرض من صنم
Artinya: Setelah mereka menyaksikan bintang-bintang di ufuk berjatuhan
Bersamaan di bumi ada kejadian-kejadian berhala-berhala jatuh bergelimangan
Keterangan:
    Khayal ini timbul karena adanya perpaduan antara pikiran dan gambaran yang serasi dengan bermuara pada satu perasaaan yang benar. Timbulnya khayal ini pada bait sya’ir di atas terlihat pada maksud dua baris sya’ir di atas. Yaitu pada tujuan bahwa ada peristiwa maha dahsyat di bumi yang dilihat dan dirasa oleh bangsa Persia (peristiwa padamnya api sesembahan dan bintang-bintang yang melesat di angkasa/ peristiwa yang dilihat bangsa Persia dan peristiwa penyebab mengapa api sesembahan yang telah lama tak pernah padam kini padam/ peristiwa yang dirasa oleh bangsa Persia, hanya dirasa sebab mereka tak tahu penyebabnya apa, yang sebenarnya penyebab itu adalah kelahiran Nabi Muhammad). Di bait ini yang dimaksud oleh al-Bhusairi sebagai berhala adalah api sesembahan bangsa Persia. Tujuan yang menyatakan ada peristiwa yang dahsyat yang dilihat dan dirasa oleh bangsa Persia dalam bait sya’ir ini pun digabungkan dengan penggambaran bagaimana bangsa Persia tersebut melihat api sesembahan mereka padam dan bintang-bintang yang melesat di angkasa oleh al-Bhusairi. Secara singkatnya dalam bait ini al-Bhusairi mengemas apa yang dirasa bangsa Persia dengan apa yang dilihat bangsa Persia dalam satu wadah, maka timbullah Khayal Ta’lifi ini

Gagasan/ Tema
    Adapun tema yang diangkat oleh Imam Bhusiri dalam syi’ir-syi’irnya di atas adalah mengangkat tema tentang kelahiran Baginda Rasulullah SAW, bahwa peristiwa kelahiran beliau merupakan peristiwa yang sangat luar biasa, hal ini tergambar karena banyaknya kejadian-kajadian menyertai kelahiran Nabi SAW yang dituangkan dalam syi’ir di atas, diantaranya adalah:
A. Di saat kelahiran Baginda Nabi SAW, bangsa Persia berfirasat bahwa mereka akan ditimpa bencana disiksa.
B. Menjelang malam tiba, yaitu malam kelahiran Rasulullah SAW, istana Kisra Persia hancur dan pecah berantakan.
C. Api sesembahan orang-orang Persia padam di kala kelahiran Rasulullah SAW, api tersebut tak pernah padam sebelumnya, selama kurang lebih seribu tahun.
D. Di saat kelahiran Nabi SAW, para Jin bergetar ketakutan. Mereka membicarakan kejadian tersebut.

Gaya Bahasa
    Gaya bahasa yang terdapat pada awal Kasidah Burdah al-Bhusairi apabila ditinjau dari segi ilmu Balaghah bermacam-macam bentuk, ada yang berbentuk ungkapan tasbyih, majaz, isti’arah, kinayah dsb. Namun di sini penulis akan mengungkapkan satu macam bentuk saja yang terdapat di awal Kasidah Burdah yang telah banyak dibahas di atas. Jenis bentuk Balaghah yang akan penulis urai adalah menggunakan uslub tasbyih, dan tasbyih yang tertuang dalam syi’ir tersebut menggunakan tasbyih mujmal, yaitu tasbyih yang wajhu sybihnya tidak tertera atau tidak ada . Potongan-potongan sya’ir yang panulis maksud adalah sebagai berikut:
وبات ايوان كسرى وهو من صدع
كشمل أصحاب كسرى غير ملتئم 
Artinya: Saat menjelang malam tiba istana Kisra hancur terbelah
Sebagaimana kumpulan sahabat Kisra tiada menyatu terpecah-belah
كان بالنار ما بالماء من بلل
حزنا وبالماء ماا بالنار من ضرم
Artinya: Seakan-akan pada api nan membara terdapat cairan air karena duka
Dan pada air nan sejuk segar terdapat jilatan api yang membakar

كأنهم هربا أبطال أبرهة
أوعسكر بالحصى من راحتيةرمي
Artinya: Seakan-akan setan yang berlari duka laksanan prajurit raja Abrahah
Atau laksana kumpulan tentara terlempari kerikil tangan Rasulullah

    Gaya bahasa Syair-syair Arab selain bisa ditinjau dari segi Balaghah juga bisa ditinjau secara bebas. Apabila Kasidah Burdah ini al-Bhusiri ini ditinjau secara bebas maka manurut diri penulis pribadi penulisan Burdah ini menggunakan gaya bahasa yang menarik, lembut, elegan. Berisi panduan ringkas mengenai kehidupan Nabi Muhammad SAW, cinta kasih, pengendalian hawa nafsu, do’a, pujian terhadap Al Quran, Isra Mi’raj, Jihad dan Tawassul. (secara isi keseluruhan dari Kasidah Burdah al-Bhusairi
Dengan memaparkan kehidupan Nabi secara puitis, al- Bhusiri bukan saja menanamkan kecintaan umat Islam kepada Nabinya, tetapi juga mengajarkan sastra, sejarah Islam, dan nilai-nilai moral kepada kaum muslimin.

C. KESIMPULAN

    Kasidah Burdah adalah sesuatu yang tak asing lagi di kalangan kaum muslimin, khususnya bagi mereka yang mengikuti Tarekat. Kasidah Burdah ada dua macam, yaitu Kasidah Burdah yang ditulis oleh Ka’ab bin Zuhair pada masa Rasulullah masih hidup, dan Kasidah Burdah yang ditulis oleh Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Zaid al-Bhusairi yang hidup pada transisi perpindahan kekuasaan dinasti Ayyubiyah ke tangan dinasri Mamalik Bahriyah. Walaupun ke dua penyair tersebut, yaitu Ka’ab bin Zuhair dan al-Bhusairi sama-sama menulis Kasidah yang sama, yaitu Kasidah Burdah namun pada masa-masa selanjutnya Kasidah Burdah milik al-Bhusairi lebih terkenal dibandingkan milik Ka’ab bin Zuhair.
Kata “Burdah” yang diambil sebagai judul kasidah oleh Ka’ab dan al-Bhusairi sebenarnya adalah Baju (jubah) kebesaran khalifah yang menjadi salah satu atribut khalifah. Namun Rasulullah memakai Burdah untuk shalat. Sebab mengapa Ka’ab dan al-Bhusairi memberi nama pada kasidah mereka dengan “Burdah” adalah merujuk pada peristiwa yang mereka alami masing-masing. Ka’ab mengalami peristiwa di mana ia diberi burdah oleh Rasulullah sebagai penghormatannya atas tobatnya Ka’ab bin Zuhair. Sedangkan al-Bhusairi bermimpi diberi burdah oleh Rasulullah di mana di saat beliau mengarang kasidah pujiannya untuk Rasulullah. Selain Kasidah Burdah, al-Bushiri juga menulis beberapa kasidah lain di antaranya a!-Qashidah al-Mudhariyah dan al-Qashldah al-Hamziyah. Sisi lain dari profil al-Bushiri ditandai oleh kehidupannya yang sufistik, tercermin dari kezuhudannya, tekun beribadah, tidak menyukai kemewahan dan kemegah duniawi.
Di kalangan para sufi, ia termasuk dalam deretan sufi-sufi besar. Sayyid Mahmud Faidh al-Manufi menulis di dalam bukunya, Jamharat al-Aulia. bahwa al-Bushiri tetap konsisten dalam hidupnya sebagai seorang sufi sampai akhir hayatnya. Makamnya yang terletak di Iskandaria, Mesir, sampai sekarang masih dijadikan tempat ziarah. Makam itu berdampingan dengan makam gurunya, Abu Abbas al-Mursi. 

DAFTAR PUSTAKA


Al-Burdah lil Imam Syarafiddin Aba Abdillah Muhammad al-Bhusairi
Muzakki, Ahmad. Kesusastraan Arab. Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2006.
Ali Jarim dan Mustofa Amin, Balaghah Wadihah. Daar Ma’rif bi Misr: 1377 H/ 1958 M.
Ali Jarim dan Mustofa Amin, Balaghah Wadihah Terjemahan. Sinar Baru Algensindo.
http://id.wordpress.com/tag/Biografi al-Bhusairi, oleh Imam Mu'minin AR. 20.00 WIB. 26 Desember 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar